IMM FKIP UNISMUH Makassar

Diny Putri Warzuqni

(Sekretaris Umum  Pikom IMM FKIP Unismuh Makassar Periode 2024-2025)

Isu gender merupakan isu yang sangat menarik ketika dihubungkan dengan wacana keislaman, dimana isu ini menjadi topik hangat dalam berbagai perubahan sosial, kebudayaan dan bahkan politik saat ini. Dalam konteks relasi tersebut, laki-laki selalu dianggap cocok untuk memegang peran publik sedangkan perempuan dianggap cocok sebagai pemegang peran domestic. Oleh karena itu relasi antara laki-laki dan perempuan dianggap mempunyai dunia yang berbeda. Sekat budaya ini yang sudah berlangsung selama berabad-abad lamanya merupakan warisan kultural dan budaya baik dari masyarakat primitif, masyarakat agraris, maupun masyarakat modern oleh kaum feminis.

Gagasan ini tidak lain berangkat dari sebuah asumsi tentang kondisi perempuan yang dinyatakan buruk, seperti marginalisasi, stigmanisasi, subordinasi, kekerasan, beban ganda dan sebagainya. Secara etimologis, gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Pada Women Studies Ensyclopedia menjelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Dikutip dari CNN Indonesia Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut terdapat total 21.768 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (PPA) selama tahun 2023. Kekerasan terhadap perempuan adalah “manifestasi dari relasi kekuasaan yang tidak merata secara historis antara laki-laki dan perempuan”, dan “salah satu mekanisme sosial penting di mana terjadinya subordinasi perempuan atas laki-laki” (Harnoko, 2010; Kartika, 2015; Maryam, 2017; United Nations General Assembly, 1993;). Lebih lanjut, kekerasan terhadap perempuan melibatkan kekerasan berbasis gender yang akan berakhir pada bahaya atau penderitaan fisik, seksual, atau psikologis bagi perempuan, termasuk ancaman, pemaksaan, dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.

Ketimpangan gender ini mengakibatkan munculnya solidaritas tehadap sesama Perempuan karena ketika perempuan mengalami penindasan, maka dengan bersolidaritas Perempuan tidak hanya memberi dukungan bagi sesama perempuan tapi juga meyakinkan dirinya kalau ia tidak sendirian. Solidaritas pun menjadi bentuk perlawanan. Dalam membangun solidaritas oleh karena itu muncullah jargon #womensupportwomen yang berarti perempuan mendukung sesama perempuan. Women support women atau jika diartikan ke bahasa Indonesia menjadi Perempuan mendukung Perempuan, hal ini adalah salah satu kampanye dari feminisme. Kampanye ini bertujuan agar seluruh Perempuan saling mendukung satu sama lain demi menguatkan persatuan dan kesatuan perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan gender.

Namun, melihat fakta dilapangan justru perempuanlah yang saling menjatuhkan satu sama lain seperti kasus pelecehan seksual yang dialami oleh salah satu mahasiswi universitas ternama di Indonesia tahun lalu, ia dilecehkan oleh rekannya sendiri di program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram Maluku5. Korban melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kampus dan pelaku dikeluarkan dari kampus namun korban hanya mendapatkan nilai C setelah KKN tersebut, saat mempertanyakan alasan mengapa ia mendapatkan nilai tersebut kepada dosen pembimbingnya beliau menjawab “seandainya kamu tidak menginap disana, peristiwa itu tidak akan terjadi”, bahkan ada oknum dosen Perempuan yang mengatakan “jangan menyebut dia korban dulu, ibarat kucing kalau tidak diberi ikan asin pasti setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan”. Hal inilah yang disebut dengan Victim Blaming.

Victim Blaming terjadi ketika korban dari suatu tindakan kejahatan justru disalahkan dan bertanggung jawab untuk kejahatan yang mereka dapatkan, dan sering berlaku dalam konteks kekerasan seksual. Bentuk menyalahkan korban yang sering diterima biasanya seperti tidak mempercayai cerita korban, merendahkan bahkan sampai memberikan hukuman secara social dengan menjauhi korban. Pihak yang menyalahkan korban tidak jarang adalah orang terdekat korban seperti teman, keluarga, rekan kerja bahkan aparat kepolisian hingga tenaga kesehatan. Tidak jarang orang yang tidak dikenal korban juga ikut menyalahkan korban,terlebih lagi jika tindakan kekerasan seksual tersebut masuk ke dalam pemberitaan. Hal ini mengkhawatirkan karena orang yang sama sekali tidak mengenal korban justru ikut berprasangka buruk tentangnya. pihak-pihak inilah yang disebut sebagai orang ketiga selaku pengamat, yakni orang-orang yang tidak menyaksikan aksi kejahatan secara langsung.

Beberapa contoh kalimat yang memiliki tendensi menyalahkan korban baik dari Perempuan kepada Perempuan itu sendiri, “Kamu sih pulang malam segala.”, “Sudah tahu perempuan, tapi masih aja suka jalan sendirian.”, “Perempuan jangan pakai pakaian terbuka!”, “Makanya pakai pakaian yang tertutup dan sopan.”, “Makanya jangan suka nari-nari di media sosial.”, “Kenapa tidak teriak?”, “Kamu tidak melawan? Berarti kamu menikmati kan?. Contoh lainnya ketika ada seseorang yang menyebarkan identitas perempuan selingkuhan pasangannya, netizen otomatis menyerangnya dengan kata “pelakor”, dan seringkali serangan itu paling banyak dari netizen perempuan. Tentunya kasus perselingkuhan dalam alasan apapun tidak dibenarkan tetapi perempuan yang identitasnya disebar sebagai “pelakor” tersebut kerap menjadi target utama dibandingkan dengan laki-laki yang juga menjadi pelaku dalam kejadian tersebut. Mengapa hanya perempuan yang mendapat julukan khusus semacam “pelakor”? Mengapa dalam setiap kasus perselingkuhan, laki-laki yang ikut bersalah selalu hilang dari perbincangan? Mengapa, kita sebagai perempuan, justru seringkali berseberangan dengan satu sama lain?

Perilaku saling menjatuhkan antar sesama perempuan berakar dari diskriminasi dan kebencian terhadap perempuan yang bersarang kuat dalam budaya masyarakat. Hidup di masyarakat patriarki membuat perempuan seringkali menjadi target diskriminasi dan kekerasan. Namun, perilaku diksriminasi dan kebencian terhadap Perempuan tak hanya dilakukan oleh laki-laki. Perempuan pun bisa berprasangka dan mengekspresikan kebencian terhadap sesama perempuan. Sehingga alih-alih mendukung satu sama lain, perempuan justru bisa mempermalukan, mengecilkan, hingga menjatuhkan sesama. Jadi apakah women support women hanya jargon belaka yang ternyata berkedok Victim blaming ?

Teori paulo Freire tentang level kesadaran akan kemanusiaan ini cukup menarik dijadikan salah satu alternatif Solusi terhadap permasalahan tersebut. menurut Paulo Freire kesadaran manusia itu ada tiga level, pertama kesadaran magis yaitu memandang manusia ditentukan oleh factor natural (alam) atau supranatural (melampaui alam), kedua kesadaran naif yaitu kesadaran yang memandang nasib manusia ditentukan oleh tindakannya sendiri, dan yang ketiga yaitu kesadaran kritis dimana memandang sesuai karena ditentukan oleh sebuah system yang ada. Kesadaran kritis inilah yang bisa menjadi kunci dalam mengubah persfektif terhadap victim blaming yang terjadi. Ketika Masyarakat mampu mancapai kesadaran kritis bahwa Perempuan adalah manusia seutuhnya seperti laki-laki dan standar kemanusiaan yang sama tentunya dengan memperhatikan pengalaman biologisnya seperti menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui, dan nifas kemudian menghilangkan atau mengikis relasi ketimpangan yang mengakibatkan Perempuan mengalami marginalisasi, subordinasi, stigmatisasi, kekerasan dan beban ganda hanya karena semata-mata menjadi Perempuan.

Kesadaran kritis ini tidak lepas dari bagaimana system yang dibentuk dalam Masyarakat yang ada salah satunya system Pendidikan dan Penegakan hukum yang tidak pandang bulu. Walaupun tidak bisa dipungkiri masalah tentang victim blaming cukup kompleks penyelesaiannya karena melibatkan banyak pihak namun jika kesadaran kritis ini bisa diaktualisasikan sejak dini maka tidak menutup kemungkinan jargon women support women akan terwujud dan victim blaming tidak lagi terjadi di masa yang akan datang. Tidak dapat dipungkiri bahwasannya peran Perempuan sangat penting dalam sebuah bangsa dan negara, ingin negara kuat? Pastikan Perempuan sebagai tiangnya kuat tidak dilemahkan secara kultural dan structural, jangan biarkan mereka hamil, melahirkan dan menyusui bayi diusia anak-anak. Tunggu mereka dewasa agar bisa menjadi madrasah pertama yang baik bagi anak-anak bangsa. Ingin negara baik karena perempuannya baik? Bersikap baiklah kepada Perempuan sebagai tiangnya dan ajarkanlah laki-laki untuk bertanggung jawab atas kegagalannya dan jangan jadikan Perempuan sebagai kambing hitamnya.