Perkembangan era post-truth dewasa ini ditandai dengan semakin masifnya penetrasi media sosial dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, budaya dan pertahanan keamanan. Fenomena ini merupakan konsekuensi perubahan pola komunikasi, dari cara-cara konvensional menuju digitalisasi komunikasi dengan menggunakan berbagai kanal media sosial kekinian. Banjir informasi di era digitalisasi ini menghadirkan sejumlah dampak sosial. Problem Masyarakat bukan pada bagaimana mendapatkan berita, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang benar. Kredibilitas media arus utama yang selalu digerogoti kepentingan elit dan pemilik, memaksa masyarakat mencari informasi alternatif. Namun, tak dapat dimungkiri bahwasanya berita-berita beredar di media sosial tak selalu mengalirkan berita yang benar. Kamus Oxford mendefinisikan post-truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal.
Perkembangan teknologi informasi yang sedemikian pesat telah menyuguhkan segudang kemudahan di segala aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain. Namun, perkembangan tersebut juga telah memengaruhi bias antara truth, fakta, dan realitas. Pengaruh kuat relativitas menjadikan subyektivitas menemukan posisinya. Kaburnya batas-batas antara fakta dan persepsi-persepsi subjektif menandai lahirnya era post-truth. Banjir informasi dan menguatnya subjektivitas tersebut juga memberikan dampak negatif. Seperti tersebarnya hoax, ujaran kebencian, konflik emosional dari individu maupun kelompok. Sehingga hal ini rentan dimanfaatkan untuk kepentingan yang bersifat politis. Selain itu, menurut Lippman, pos-faktual era juga ditandai merosotnya pengaruh agama serta mengikisnya kekuatan tradisi. Dapat dimungkiri bahwa manusia semakin mengarah pada dehumanisasi dan krisis etik dalam kehidupan sosial. Kultur industrial, politik dan pasar menjadikan kita sebagai bagian dari Masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Sintesis pemikiran Kuntowijoyo antara pemikiran barat dengan teks keagamaan yaitu Al-Qur’an telah melahirkan suatu disiplin ilmu sosial yang menjadikan dimensi transendental sebagai landasannya. Etika profetik seyogyanya menjadi landasan intelektual dan moral, karena ilmu sosial seharusnya tidak berhenti hanya menjelaskan atau memahami realitas atau fenomena sosial apa adanya. Namun lebih dari itu, di mana etika profetik mampu melakukan tugas transformasi. Jadi, lebih kepada upaya mewujudkan proses transformasi sosial.
Pentingnya ilmu sosial profetik dalam mengusung semangat transformasi dengan muatan humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ilmu sosial profetik tidak punya justifikasi baik dan buruk, benar dan salah. Hal ini digunakan untuk menguatkan praksis daripada ilmu sosial profetik itu sendiri. Jadi, bagaimana kemudian prinsip humanisasi, liberasi, dan transenden ketika contohnya dimuati nilai-nilai etik maka akan memuat kriteria baik dan buruk dari suatu hal. Etika pada dasarnya berada pada dataran aplikatif, karena dalam realita kehidupan telah muncul berbagai persoalan dilematik. Nilai-nilai etika yang universal dan absolut itu menghadapi tantangan yang kompleks, yang tidak sepenuhnya dapat dijalankan dengan mulus.
Pada dasarnya kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membutuhkan kepemimpinan. Maka, dalam mensukseskan suatu program kegiatan tersebut dibutuhkan suatu perspektif kepemimpinan yang proporsional berdasarkan teori kepemimpinan, yakni penggeneralisasian satu seri perilaku pemimpin dan konsep-konsep kepemimpinannya dengan menonjolkan latar belakang historisnya, sebab musabab tumbuhnya kepemimpinan, persyaratan menjadi pemimpin, sifat-sifat utama pemimpin, tugas pokok dan fungsinya, serta etika profesi kepemimpinan.
Kepemimpinan dalam arti spiritual tiada lain hanyalah ketaatan atau kemampuan mentaati perintah Allah SWT dan Rasul-Nya dalam semua aspek kehidupan. Manusia sebagai pemimpin hanya akan ridhai oleh Allah SWT jika kepemimpinannya dilaksanakan sesuai dengan kehendak-Nya. Sebagaimana secara sempurna telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam memimpin Islam, baik di zaman maupun hingga akhir zaman kelak.
Pengertian profetik identik dengan seseorang yang memiliki sifat atau ciri layaknya seorang nabi. Walaupun dapat dimungkiri bahwa tak ada seorangpun yang dapat menandingi sifat seorang Nabi. Akan tetapi, ada beberapa sifat Nabi yang dapat diteladani dalam sebuah kepemimpinan. Oleh karena itu istilah kepemimpinan profetik merupakan gabungan dari dua defenisi yang bisa diartikan ke dalam beberapa terminologi. Pertama, kepemimpinan profetik mempunyai dimensi yang sama dengan kepemimpinan pada umumnya. Kepemimpinan di identikkan dengan kemampuan dalam mendorong dan memimpin anggota dalam mewujudkan visi bersama. Kedua, dimensi profetik menjadi poin penting, maka kepemimpinan harus di dasarkan pada sifat dan karakter seorang nabi, setidaknya bisa disamakan dengan upaya mewujudkan visi dan misi kenabian.
Haedar Nashir, menyebut bahwa kepemimpinan profetik adalah seorang pemimpin yang memiliki komitmen terhadap kebenaran dan memiliki kualitas rohaniah yang mampu memadukan keseimbangan hablun minallah dan hablun minannas untuk membangun peradaban yang utama.
Kepemimpinan profetik merujuk pada sifat-sifat yang dimiliki Rasulullah SAW. Kepemimpinan profetik dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang dihadapi baik sosial, politik, ekonomi dan budaya. Kepemimpinan profetik ditandai oleh beberapa karakteristik berikut: hidup berdasarkan Iman (Q.S. Al Maidah 55), berorientasi ibadah sebagai visi dan misi (Q.S Al Anfal 65-66), sifat-sifat dan keteladanan Rasulullah (Q.S. Al Ahzab 21), dan humanis (Q.S. Ali Imran:159) (Mansyur, 2013).
Kepemimpinan yang dipraktikkan Rasulullah SAW merupakan gambaran kepemimpinan yang ideal. Kepemimpinan Rasulullah SAW mengedepankan nilai siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan) dan fathanah (cerdas). Kuntowijoyo, menyebut sifat kepemimpinan Rasulullah SAW tersebut sebagai kepemimpinan profetik.
Shiddiq
Kriteria pertama ini harus ada pada diri pemimpin menurut Budiarto dan Himam (2006) adalah empat kompenen dasar sifat kenabian. Sidiq, yaitu kejujuran. Kejujuran merupakan bagian penting dalam konsep kepemimpinan profetik. Kejujuran ini pun didasari oleh kebenaran hati nurani yang tidak pernah bisa dipungkiri oleh siapapun. Kriteria ini sudah termaktub dalam Surah Maryam ayat 50:
وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِّنْ رَّحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّاࣖ ٥٠